Potret Demokrasi Lokal

Orientasi Demokrasi Lokal

Sebagai bangsa yang memahami sejarah, warisan (heritage) dan nilai-nilai kebangsaannya untuk menuju babak baru kehidupan bangsa di masa mendatang, maka cita-cita dan tujuan nasional menjadi pijakan sebuah Negara harus tumbuh dan berkembang sepanjang masa dengan melakukan kegiata-kegiatan yang menujang pembangunan bangsa. Berangkat dari pemikiran tersebut penulis mencoba untuk mengelaborasi teori, gagasan dan pola pikir yang seharusnya menjadi tanggung jawab sebagai bangsa yang bermartabat dalam konteks demokrasi. Linz dan Stephan dalam bukunya yang berjudul “problems of Democratic Transition and consolidation” menyebutkan ada lima arena dari demokrasi yang sudah mapan (consolidated democracy) yakni, pertama, masyarakat sipil (civil society) yang ditandai oleh kebebasan berkomunikasi dan berserikat, kedua masyarakat politik (political society) yang ditandai adanya pemilihan yang bebas dan inklusif. Ketiga, Tatanan hukum (rule of law) yang menjunjung tinggi konstitusionalisme, keempat perangkat Negara (state aparatus) yang dicirikan oleh berkembangnya norma-norma birokrasi yang legal rasional, dan kelima, masyarakat ekonomi (economic society) yang dicirikan dengan dibangunya lembaga pasar yang sehat (Susilo Bambang Yudhoyono, 2008).
Menyimak karakter dan deskripsi dari sebuah demokrasi yang mapan maka tidak keliru kalau dalam orientasi ke depan kehidupan masyarakat hendak lebih baik. Untuk menuju kesana perlu sebuah upaya dan tantangan yang besar dalam menghadapinya. Tetapi, jika bangsa Indonesia mengabaikan semua kepentingan bangsa, maka sudah tentu bangsa ini akan kacau atas kealpaannya dalam membangun kehidupan berdemokrasi. Demokrasi merupakan sebuah sistem nilai dan sistem politik yang mampu mewujudkan tatanan sosial, ekonomi dan politik yang adil, egaliter dan manusiawi. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi juga bisa dimaknai sebagai bentukmasayarakat yang menghargai hak-hak asasi manusia secara sama, menghargai kebebasan dan mendukung toleransi. (Umaruddin Masdar, 1999).
Demokrasi menjadi penting di negeri ini, tatkala tuntutan dari semua elemen masyarakat menuntut sebuah kebijakan yang berlandaskan pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Hal ini merupakan dinamika yang terbangun dalam menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, demokrasi tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat sebagai cerminan prinsip dan cita-cita dari masyarakat Indonesia. Sudah tentu kalau kita melihat gerakan reformasi yang berpengaruh yang membentuk kesadaran rakyat terhadap integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, itulah pesan yang penting dalam setiap langkah mewujudkan tujuan otonomi daerah dan desentralisasi kerakyatan (meminjam istilah Dadang Juliantara).
Otonomi daerah memberikan ruang dan peran yang strategis dalam mendorong Pemerintah Daerah untuk lebih memberdayakan semua potensi yang dimiliki untuk membangun dan mengembangkan daerahnya menuju demokrasi lokal yang mapan. Kongkritnya dengan lahirnya kebijakan otonomi daerah, sehingga jika kita korelasikan kebijakan otonomi daerah dengan konteks demokrasi lokal (local democration) akan lebih menarik apabila, tatkala daerah memegang peran sentral dalam membangun daerahnya. Orientasi Kebijakan ini akan bermuara pada pro-aktif dari masyarakat dalam mengontrol pemerintahan daerah, sehingga peran masyarakat menjadi penting dalam mengambil sebuah kebijakan di daerah dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan atau aspirasi masyarakat setempat.
Dengan kebijaksanaan Pemerintah Pusat dalam pembenahan sistem dari permasalahan yang menimpa sejumlah daerah di tanah Indonesia, menjadikan peran kebijakan otonomi daerah sebagai implementasi kehidupan berdemokrasi. Latar belakanh itulah menempatkan peran sentral otonomi daerah untuk memprioritaskan kehidupan sosial dan kehidupan berdemokrasi atas prakarsa rakyat dan atau masyarakat setempat. Menurut Mardiasmo (2002), kebijakan pemberian otonomi daerah merupakan langkah strategis serta sebagai peran sentral dalam desentralisasi daerah. Relevansinya adalah dua landasan strategis. Pertama otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia berupa alasan disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia. Kedua, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi dengan memperkuat basis perekonomian daerah.
Kebijakan otonomi daerah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah. Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah sangat ditentukan oleh kesiapan dan kemampuan daerah itu sendiri dalam mengelola dan memberdayakan seluruh potensi dan sumberdaya yang tersedia. Di sisi yang lain, kebijakan desentralisasi itu akan menghasilkan wadah bagi masyarakat setempat untuk berperan serta dalam menentukan perioritas dan meningkatkan taraf hidup sesuai dengan peluang dan tantangan yang dihadapi dalam batas-batas kepentingan nasional (Mardiasmo, 2002). Turner (dalam Sunyoto Usman, 2002) pengaruh kebijakan otonomi daerah bisa dilihat secara politis, administratif dan ekonomi. Secara politis, pergeseran penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi akan dapat meningkatkan kemampuan dan tanggung jawab politik daerah, membangun proses demokratisasi (kompetisi, partispasi, transparansi), konsolidasi integrasi nasional (menghindari konflik pusat-daerah dan antardaerah). Secara administratif akan mampu meningkatkan kemampuan daerah merumuskan perencanaan dan mengambil keputusan strategis, meningkatkan akuntabilitas terhadap publik. Ekonomi, akan mampu membangun keadilan di semua daerah, mencegah eksploitasi pusat terhadap daerah, serta meningkatkan kemampuan daerah memberikan public goods and services.
Dalam konteks otonomi daerah, peningkatan kemampuan pemerintah daerah sangat penting. Pemerintah daerah tidak hanya harus mampu mengatur daerahnya sendiri tetapi juga harus memupuk dan meningkatkan kemampuan dan ketahanannya sebagai suatu organisasi yang mandiri. Sejalan dengan semakin besarnya wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki oleh pemerintah daerah maka perlu adanya aparat birokrasi yang mempunyai kualitas dan kemampuan manajerial yang baik serta aparat birokrasi yang bertanggung jawab. Dalam kaitannya dengan aparat birokrasi yang bertanggung jawab, maka aparat birokrasi harus memiliki kemampuan bekerja dan kapasitas pengetahuan yang mapan sehingga terselenggara birokrasi yang bersih, jujur, terbuka, partisipatif, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas. Hal inilah yang menjadi prinsip-prinsip dasar terciptanya good governance. Muara dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terselenggaranya pemerintah daerah yang good governance (kepemerintahan yang baik), yang bebas dari KKN.
Otonomi daerah dan demokrasi adalah ditentukan “oleh” rakyat, pemerintah daerah memperoleh mandat “dari” rakyat dan mandat itu harus dilaksanakan dengan baik sehingga bisa menghasilkan banyak hal yang berguna “untuk” rakyat. Dengan demikian, penerima desentralisasi bukan semata-mata pemerintah, melainkan juga masyarakat di daerah. Di sini ada dua aspek penting. Pertama, kapasitas lembaga legislatif lokal yang merupakan kunci dari desentralisasi atau otonomi daerah. Sebagai badan perwakilan masyarakat lokal, lembaga legislatif (baca: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) mempunyai kedudukan strategis, yaitu berfungsi merumuskan kebijakan yang independen di tingkat lokal dan alat kontrol atas eksekutif. Kedua, partisipasi masyarakat lokal dalam urusan-urusan daerah, terutama dalam pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat perlu ditekankan di sini, sebab inti dari desentralisasi adalah untuk menjamin teraktualisasinya aspirasi masyarakat dalam berbagai kebijakan di tingkat lokal. Penerima desentralisasi sebenarnya adalah masyarakat lokal, dalam hubungannya dengan negara (state). Pemerintah daerah berperan sebagai mediator hubungan antara negara yang dalam hal ini pemerintah pusat dengan masyarakat sipil.
Oleh sebab itu, maka salah satu tugas kita ke depan adalah menghidupkan kesadaran dan kepentingan bersama agar kita terus melanjutkan pembangunan bangsa yang memiliki nilai, karakter dan jati diri bangsa yang baik bermoral, beradab, bersatu, berdaya, serta berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam membangun nasib dan masa depannya (Baca : menuju Indonesia baru). Dengan demikian, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa urgensi dari sebuah demokrasi yang mana untuk mewujudkan kehidupan demokrasi lokal mandiri dan akuntabel. Dengan adanya demokrasi lokal tentunya masyarakat lebih pro-aktif dalam mewujudkan pembangunan daerah dan bangsa ke depan. Dari sinilah otonomi dan desentralisasi memihak kepada rakyat dan berorientasi pada kepentingan rakyat.

Konsep Good Governance


A. Arti Dan Definisi Good Governance

Istilah Governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber social dan politiknya tidak hany dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan integrasi, kohesi dan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, bahwa kemampuan suatu Negara mencapai tujuan Negara sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan sector swasta dan masyarakat (Thoha dalam Kurniawan, 2005). Secara konseptual pengertian kata baik (good) dalam istilah kepemerintahan yang baik (good governance) mengandung dua pemahaman, yakni :

  1. Nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.
  2. Aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut.

Dalam Kamus bahasa Indonesia good governance diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik, namun ada yang menerjemahkan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Di samping itu, arti yang lain good governance sebagai pemerintahan yang amanah. Jika good governance diterjemahkan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, maka good governance dapat didefinisikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan secara partisipatif, efektif, jujur, adil, transparan dan bertanggungjawab kepada semua level pemerintahan (Effendi dalam Azhari, dkk., 2002: 187).

Definisi good governance menurut ahli dan institusi negara, yakni antara lain :

  1. Kooiman (1993) bahwa governance merupakan serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut.
  2. World Bank (dalam Mardiasmo, 2002 : 23). ialah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran terhadap kemungkinan salah alokasi dan investasi, dan pencegahan korupsi baik yang secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politicall framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
  3. United Nations Development Program (UNDP) dalam dokumen kebijakannya yang berjudul “Governance for sustainable human development”, (1997), mendefinisikan kepemerintahan (governance) adalah pelaksanaan kewenangan dan atau kekuasaan di bidang ekonomi, politik dan administratif untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat. United Nations Development Program (UNDP) juga mendefinisikan good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan society.
  4. Lembaga Administrasi Negara (Kurniawan, 2005), mendefinisikan good governance sebagai penyelenggaraan pemerintahan Negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain Negara, sektor swasta dan masyarakat (society).
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000, merumuskan arti good governance sebagai berikut : “Kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat”.

Good governance dilaksanakan agar kinerja pemerintahan daerah lebih terarah sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang memadai guna mencapai hasil yang lebih baik dan terciptanya struktur pemerintahan yang ideal yang berorientasi pada tujuan pembangunan nasional. Berdasarkan pengertian dan definisi di atas, good governance berorientasi pada :

    1. Orientasi ideal, negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Orientasi ini bertitik tolak pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen konstituennya.
    2. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi kedua ini tergantung pada sejauhmana pemerintah mempunyai kompetensi, dan sejauhmana struktur serta mekanisme politik serta administratif berfungsi secara efektif dan efisien.

Lembaga Administrasi Negara (2000) menyimpulkan bahwa wujud good governance penyelenggaraan pemerintahan yang solid dan bertanggungjawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat. Sehingga unsur-unsur dalam kepemerintahan (governance stakeholders) dapat dikelompokan menjadi tiga kategori yaitu :

  1. Pemerintahan (negara)

Negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Konsepsi pemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat madani.

  1. Sektor Swasta

Pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti : industri pengolahan perdagangan, perbankan, dan koperasi termasuk kegiatan sektor informal.

  1. Masyarakat Madani

Kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada diantara atau ditengah-tengah antara pemerintah, mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi.




B. Prinsip Good Governance


Prinsip dasar yang melandasi perbedaan antara konsepsi kepemerintahan (governance) dengan pola pemerintahan yang tradisional, adalah terletak pada adanya tuntutan yang demikian kuat agar peranan pemerintah dikurangi dan peranan masyarakat (termasuk dunia usaha dan LSM/organisasi non pemerintah) semakin ditingkatkan dan semakin terbuka aksesnya. Rencana Strategis Lembaga Administrasi Negara tahun 2000-2004, disebutkan perlunya pendekatan baru dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan dan terarah pada terwujudnya kepemerintahan yang baik yakni “proses pengelolaan pemerintahan yang demokratis, profesional menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia, desentralistik, partisipatif, transparan, keadilan, bersih dan akuntabel, selain berdaya guna, berhasil guna dan berorientasi pada peningkatan daya saing bangsa”.

Selain itu, Bhatta (1996) mengungkapkan pula bahwa unsur utama governance, yaitu: akuntabilitas (accountability), transparan (transparency), keterbukaan (opennes), dan aturan hukum (rule of law) ditambah dengan kompetensi manajemen (management competence) dan hak-hak asasi manusia (human right). UNDP (dalam Mardiasmo, 2002) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip pada pelaksanaan good governance meliputi :

  1. Partisipasi (participation), keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
  2. Aturan hukum (rule of law), kerangka aturan hukum dan perundang-undangan yang berkeadilan dan dilaksanakan secara utuh, terutama tentang hak asasi manusia.
  3. Transparansi (transparency), transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
  4. Daya tanggap (responsivennes), setiap institusi/lembaga-lembaga publik dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).
  5. Berorientasi konsensus (Consensus orientation), Pemerintahan yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah serta berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.
  6. Keadilan (equity), setiap masyarakat memiliki kesempatan sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
  7. Efektivitas dan Efisiensi (Efficiency and Effectivennes), setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia serta pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
  8. Akuntabilitas (accountability), para pengambil keputusan dalam organisasi publik, swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas kegiatan yang dilakukan.
  9. Visi strategis (strategic vision), penyelenggara pemerintahan yang baik dan masyarakat harus memiliki visi yang jauh ke depan agar bersamaan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.

Keseluruhan karakteristik atau prinsip good governance tersebut adalah saling memperkuat dan saling terkait serta tidak bisa berdiri sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat empat prinsip utama yang dapat memberi gambaran adminisitrasi publik yang berciri kepemerintahan yang baik yaitu sebagai berikut :

    1. Akuntabilitas, adanya kewajiban bagi aparatur pemeritah untuk bertindak selaku penanggung jawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang ditetapkannya.
    2. Transparansi, kepemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadap rakyatnya baik ditingkat pusat maupun daerah.
    3. Keterbukaan, menghendaki terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintah yang dinilainya tidak transparan.
    4. Aturan hukum, kepemerintahan yang baik mempunyai karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh.

Robert Hass (dalam Sedarmayanti, 2000) juga memberi indikator tentang “good governance” yang meliputi lima indikator, antara lain : Melaksanakan hak asasi manusia, Masyarakat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik, Melaksanakan hukum untuk melindungi kepentingan masyarakat, Mengembangkan ekonomi pasar atas dasar tanggung jawab kepada masyarakat, Orientasi politik pemerintah menuju pembangunan. Indikator good governance yang disampaikan oleh Robert Hass di atas sangatlah ringkas dan padat, namun berorientasi pada tiga elemen pemerintahan yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan good governance, yakni pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Menurut pendapat Ganie Rochman, good governance memiliki empat unsur utama, yang meliputi accountability, rule of law, informasi dan transparansi (Sadjijono, 2005:195).

Nilai yang terkandung dari pengertian serta karakteristik good governance tersebut di atas merupakan nilai-nilai yang universal sifatnya dan sesuai amanat konstitusi, karena itu diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna dan berhasil guna. Kondisi semacam ini ini perlu adanya akuntabilitas dan tersedianya akses yang sama pada informasi bagi masyarakat luas. Hal ini merupakan fondasi legitimasi dalam sistem demokrasi, mengingat prosedur dan metode pembuatan keputusan harus transparan agar supaya memungkinkan terjadinya partisipasi efektif. Di samping itu, institusi governance harus efisien dan efektif dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, responsif terhadap kebutuhan masyarakat (Kurniawan, 2005:16).

Penerapan prinsip-prinsip good governance tidak terlepas dari peran masyarakat, dan stakeholder yang berkepentingan (sektor swasta, LSM/NGOs dan elit politik) demi memajukan pembangunan serta pemerintahan daerah yang berguna bagi masyarakat. Dengan demikian, maka wujud good governance adalah pelaksanaan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang solid, kondusif dan bertangung jawab dengan menjaga kesinergisan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, nyata dan legitimate sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan berlangsung secara berkesinambungan, berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas dari KKN.






Mengenai Saya

Foto saya
Transformasi sebagai bentuk sebuah perubahan yang menghasilkan nilai dan prinsip serta komitmen dalam membangun negeri, bangsa dan Negara